“Yung, suatu hari kalau misal kamu selingkuh (amit-amit jangan sampai), aku pasti marah banget banget banget, mungkin butuh waktu untuk bisa dimaafkan, tapi aku tetep nggak mau cerai. Misal, kalau aku yang selingkuh gimana?” tanyaku ke pasangan. 

Pasangan dengan cepat merespon: “Nggak bisa dimaafin. Aku pilih cerai!” 

Kiki yang semi anti-patriarki langsung protes dengan jawaban pasangan. “Hidih, giliran lo gue maafin. Giliran gue nggak dikasi kesempatan. Berada di hubungan yang udah diselingkuhin itu sebuah pengorbanan lho. Dan aku amat sangat mau mempertahankan pernikahan meski harus banyak berkorban. Seharusnya equal dong. Kalau aku ada salah, kamu jangan cut aku,” protesku. 

Pembahasan ini kemudian berlanjut berjam-jam dan aku tetap minta diberikan maaf dan kesempatan jika seandainya aku selingkuh (desclaimer: nggak ada perselingkuhan saat ini di antara kami). Pasanganku yang pernah diselingkuhi itu bilang bahwa masalah orang ketiga sangat sensitif buat dia, dan sulit (nggak bisa) termaafkan. 

“Istri itu mahkota rumah tangga,” ucapnya. 

Tapi ya memang banyak opini yang bilang, kalau suami yang selingkuh seringnya dimaafkan istri. Tapi kalau istri yang mendua maka tidak termaafkan. Sementara ada pasangan seleb ibu kota yang istrinya selingkuh, dan dimaafkan oleh suaminya. Good move, mas. Kamu keren memberikan kesempatan untuk istrimu.

Tapi ternyata, istri berselingkuh diharamkan dan seharusnya segera diceraikan (menurut agama Islam). Dalam potongan ceramah Buya Yahya, ia menyarankan untuk segera menceraikan istri yang telah berselingkuh.

Ketika suami membiarkan istri berselingkuh maka pria tersebut termasuk golongan kaum Dayyuts. Dalam fatawa Asy-Syabakiyah disebutkan, “Dayyuts adalah suami yang tidak cemburu (tidak risih/membiarkan) anggota keluarganya melakukan keharaman dan dia ridha dengan maksiat tersebut (tidak ada rasa tidak senang).” (Fatawa Asy-Syabakiyah, no. 84151)

Suami dayyuts termasuk dosa besar ke-34. Sedangkan dosa besar itu akan membinasakan pelakunya dengan ancaman azab diharamkan baginya surga. 

Daripada repot mikirin meminta kesamaan dan kesetaraan di rumah tangga, ada baiknya menjalani pernikahan sesuai agama. Dalam masa menuju ingin hijrah, semoga gue bisa tipis-tipis mencari jawaban lewat agama. Ya walaupun terkadang nggak semua masuk logika.

Kadang pria atau wanita lain yang bukan pasangan resmi akan terlihat lebih indah di mata kita. Kita terbuai dengan keindahan semu itu dan mencari-cari cinta di luar rumah dengan alasan adanya masalah rumah tangga. Jangan-jangan, masalah sebenarnya ada di dirimu sendiri bukan pasanganmu.

Mengutip perkataan Rumi : “Tugasmu bukanlah mencari cinta, tetapi hanya untuk mencari dan menemukan semua penghalang dalam dirimu yang telah kamu bangun untuk melawannya.”

About the Author

Kiki Oktaviani

A writer, mother, lifetime learner

View All Articles